Sejarah keroncong
di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari keberadaan Kampung Tugu, Jakarta
Utara. Di kampung kecil yang berada di pesisir utara Jakarta inilah awal berkembang
keroncong di Kemayoran yang akhirnya menemukan bentuknya.
Pada 1661, setelah Maluku berhasil diduduki oleh
Belanda, sekumpulan orang Portugis beserta keluarganya dibuang ke Kampung Tugu.
Lalu, mereka membentuk komunitas budaya Portugis. Konon, nama Kampung Tugu
sendiri diambil dari kata Por-tugu-ese.
Banyak pihak beranggapan, keroncong Indonesia lahir dari Maluku, lalu menyebar ke penjuru
Nusantara. Namun hal ini ditolak oleh pengamat music keroncong sekaligus Viktor Ganap, guru besar musikologi di
Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
"Tanpa peranan komunitas Tugu, musik keroncong Indonesia tidak akan
pernah lahir seperti bentuknya yang sekarang ini," katanya di Jakarta,
beberapa waktu lalu.
Orkes keroncong
Tugu di Kampung Tugu sendiri secara terorganisir baru berdiri pada 1925
silam dengan nama Orkes Poesaka Krontjong Moresco Toegoe-Anno 1661. Orkes ini
didirikan oleh Joseph Quiko.
Ditinjau dari segi musikalitas, sejatinya keroncong Tugu memang musik Portugis namun mengalami
akulturasi budaya. Para penduduk kampung Tugu inilah yang memiliki peran
penting dalam penyebaran keroncong di
Indonesia.
Pada mulanya musik
keroncong dinyanyikan dalam bahasa Portugis. Lagu utama dan tertua
keroncong di Indonesia, menurut Victor, yaitu Moresco. Lagu utama dalam setiap
pertunjukan dan perlombaan musik keroncong
di Jakarta yang kala itu bernama Batavia.
Setelah music keroncong
mulai populer di masyarakat perkotaan pada akhir abad ke-19, Hindia Belanda
ingin menghapus seluruh jejak peninggalan Portugis. Ujungnya, mewajibkan
seluruh lagu keroncong Indonesia
dinyanyikan dalam bahasa Melayu.
Buaya Keroncong
Pada rentang abad ke-20, popularitas music keroncong semakin melejit di
masyarakat perkotaan. Banyak orkes music
keroncong di Kemayoran yang mulai bermunculan di Batavia pada masa itu.
Berawal dari kampung Tugu, orkes musik keroncong kemudian menyebar ke wilayah lain yang
berdekatan . Misalnya di Kampung Bandan, dan Kemayoran. Kehidupan pemusik keroncong di Kampung Bandan
sendiri ditopang oleh masyarakat nelayan buangan yang menetap di sana.
Berbeda dengan kehidupan pemusik keroncong di Kampung Bandan, komunitas keroncong Kemayoran mengalami nasib lebih baik. Karena lokasinya
yang berdekatan dengan pusat kota, keroncong
Kemayoran mendapat dukungan dari
kelompok masyarakat Indo-Belanda.
Salah satu orkes Musik
keroncong Kemayoran yang sukses adalah De Krokodilen, yang berarti buaya
keroncong. Mereka tampil sebagai pemusik keliling dengan penampilan yang
menghibur. Para orang tua pun merasa resah karena takut anak gadisnya
tergila-gila pada para pemusik keroncong
ini .
"Sejak itulah pemusik keroncong memperoleh
julukan buaya keroncong," tutur Viktor.
Menurut Viktor, ada beberapa alasan mengapa musik keroncong bisa bertahan dan
mencapai puncak popularitasnya. Pertama, musik
keroncong adalah musik baru yang
bukan klasik Barat, juga bukan gamelan lokal. Musik keroncong pada waktu itu hadir sebagai alternatif hiburan
masyarakat.
"Yang terpenting dari proses Indonesia-nisasi music keroncong adalah pada zaman
Belanda, keroncong sering dilombakan di panggung-panggung terbuka," ucap
Viktor.
Kedua, musik keroncong
mendapat dukungan dari berbagai pihak. Dari Pemerintah Hindia-Belanda sendiri
memberi panggung secara terang-terangan bagi pemusik keroncong. Misalnya, dengan memberi kesempatan untuk tampil
di Pasar Malam Gambir. Selain itu dukungan dari komunitas Indo-Belanda yang
menyukai musik keroncong juga tak
kalah penting.
Ketiga, ada roda ekonomi yang berputar dengan cepat di
Batavia akibat popularitas musik
keroncong. Para perajin gitar keroncong
Indonesia dari Kampung Tugu
menyetor produknya ke Passer Baroe (Pasar Baru) dan laris diborong oleh
kelompok orkes yang menjamur di sudut-sudut kota Batavia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar