Selasa, 01 Desember 2015

KERONCONG, KERONCONG KEMAYORAN, MUSIK KERONCONG, KERONCONG TUGU, KERONCONG INDONESIA TAK HILANG DIMAKAN WAKTU


Sejarah keroncong di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari keberadaan Kampung Tugu, Jakarta Utara. Di kampung kecil yang berada di pesisir utara Jakarta inilah awal berkembang keroncong di Kemayoran  yang akhirnya menemukan bentuknya.

Pada 1661, setelah Maluku berhasil diduduki oleh Belanda, sekumpulan orang Portugis beserta keluarganya dibuang ke Kampung Tugu. Lalu, mereka membentuk komunitas budaya Portugis. Konon, nama Kampung Tugu sendiri diambil dari kata Por-tugu-ese.

Banyak pihak beranggapan, keroncong Indonesia lahir dari Maluku, lalu menyebar ke penjuru Nusantara. Namun hal ini ditolak oleh pengamat music keroncong sekaligus Viktor Ganap, guru besar musikologi di Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

"Tanpa peranan komunitas Tugu, musik keroncong Indonesia tidak akan pernah lahir seperti bentuknya yang sekarang ini," katanya di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Orkes keroncong Tugu di Kampung Tugu sendiri secara terorganisir baru berdiri pada 1925 silam dengan nama Orkes Poesaka Krontjong Moresco Toegoe-Anno 1661. Orkes ini didirikan oleh Joseph Quiko.

Ditinjau dari segi musikalitas, sejatinya keroncong Tugu  memang musik Portugis namun mengalami akulturasi budaya. Para penduduk kampung Tugu inilah yang memiliki peran penting dalam penyebaran keroncong di Indonesia.

Pada mulanya musik keroncong dinyanyikan dalam bahasa Portugis. Lagu utama dan tertua keroncong di Indonesia, menurut Victor, yaitu Moresco. Lagu utama dalam setiap pertunjukan dan perlombaan musik keroncong di Jakarta yang kala itu bernama Batavia.

Setelah music keroncong mulai populer di masyarakat perkotaan pada akhir abad ke-19, Hindia Belanda ingin menghapus seluruh jejak peninggalan Portugis. Ujungnya, mewajibkan seluruh lagu keroncong Indonesia dinyanyikan dalam bahasa Melayu.

Buaya Keroncong

Pada rentang abad ke-20, popularitas music keroncong semakin melejit di masyarakat perkotaan. Banyak orkes music keroncong di Kemayoran yang mulai bermunculan di Batavia pada masa itu.

Berawal dari kampung Tugu, orkes musik keroncong kemudian menyebar ke wilayah lain yang berdekatan . Misalnya di Kampung Bandan, dan Kemayoran. Kehidupan pemusik keroncong di Kampung Bandan sendiri ditopang oleh masyarakat nelayan buangan yang menetap di sana.

Berbeda dengan kehidupan pemusik keroncong di Kampung Bandan, komunitas keroncong Kemayoran mengalami nasib lebih baik. Karena lokasinya yang berdekatan dengan pusat kota, keroncong Kemayoran  mendapat dukungan dari kelompok masyarakat Indo-Belanda.

Salah satu orkes Musik keroncong Kemayoran yang sukses adalah De Krokodilen, yang berarti buaya keroncong. Mereka tampil sebagai pemusik keliling dengan penampilan yang menghibur. Para orang tua pun merasa resah karena takut anak gadisnya tergila-gila pada para pemusik keroncong ini .

"Sejak itulah pemusik keroncong memperoleh julukan buaya keroncong," tutur Viktor.

Menurut Viktor, ada beberapa alasan mengapa musik keroncong bisa bertahan dan mencapai puncak popularitasnya. Pertama, musik keroncong  adalah musik baru yang bukan klasik Barat, juga bukan gamelan lokal. Musik keroncong pada waktu itu hadir sebagai alternatif hiburan masyarakat.

"Yang terpenting dari proses Indonesia-nisasi music keroncong adalah pada zaman Belanda, keroncong sering dilombakan di panggung-panggung terbuka," ucap Viktor.

Kedua, musik keroncong mendapat dukungan dari berbagai pihak. Dari Pemerintah Hindia-Belanda sendiri memberi panggung secara terang-terangan bagi pemusik keroncong. Misalnya, dengan memberi kesempatan untuk tampil di Pasar Malam Gambir. Selain itu dukungan dari komunitas Indo-Belanda yang menyukai musik keroncong juga tak kalah penting.


Ketiga, ada roda ekonomi yang berputar dengan cepat di Batavia akibat popularitas musik keroncong. Para perajin gitar keroncong Indonesia dari Kampung Tugu menyetor produknya ke Passer Baroe (Pasar Baru) dan laris diborong oleh kelompok orkes yang menjamur di sudut-sudut kota Batavia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar